Beranda | Artikel
Empat Kaidah Dasar [bagian 2]
Minggu, 6 Januari 2013

Berikut ini, bagian ke-2 dari serial terjemah risalah al-Qawa’id al-Arba’ (Empat Kaidah Dasar) dengan beberapa tambahan keterangan penjelasan yang insya Allah akan kami sajikan secara bertahap. Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita.

Hakikat Millah Ibrahim dan Kedudukan Tauhid

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

Ketahuilah -semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya- sesungguhnya al-Hanifiyah Millah Ibrahim adalah engkau beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu supaya beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak dinamakan sholat tanpa thaharah/bersuci. Apabila syirik mencampuri ibadah niscaya ibadah itu akan rusak (tidak sah) sebagaimana halnya apabila hadats masuk kepada thaharah.

[lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 199]

Penjelasan Global

Di dalam bagian ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menegaskan bahwa ibadah kepada Allah merupakan hakikat ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan tujuan penciptaan jin dan manusia. Perlu diingat pula bahwa ibadah tidak diterima tanpa tauhid. Sebab ibadah yang tercampuri syirik tidak diterima di sisi Allah. Sebagaimana halnya seorang yang telah bersuci untuk sholat lalu terkena hadats, maka sholatnya batal.

Makna Ibadah

Sebagaimana diterangkan oleh para ulama, bahwa ibadah merupakan istilah yang menunjukkan segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah mencakup ibadah hati, ibadah lisan, dan ibadah dengan anggota badan.

Ibadah terwujud dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Melaksanakan perintah terbagi menjadi dua; amalan yang sifatnya wajib dan amalan yang sifatnya sunnah atau mustahab. Adapun menjauhi larangan juga terbagi dua; larangan yang sifatnya harus (haram) maupun larangan yang sifatnya anjuran (makruh). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa saja yang dibawa oleh Rasul itu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang kepada kalian maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah akan diterima Allah apabila memenuhi syarat-syaratnya. Para ulama menjelaskan, bahwa syarat diterimanya ibadah terbagi menjadi dua. Syarat yang berkaitan dengan pelakunya, yaitu dia harus orang yang beriman. Dan yang kedua adalah syarat yang berkaitan dengan amalannya; yaitu amal itu harus ikhlas dan mengikuti tuntunan.

Orang yang tidak bertauhid (tidak beriman) maka tidak akan diterima amalnya. Sebagaimana pelaku bid’ah juga tidak akan diterima amalannya di sisi Allah. Amalan tidak akan diterima kecuali apabila ikhlas (tidak syirik) dan mengikuti tuntunan (bukan bid’ah).

Allah ta’ala berfirman mengenai amalan orang-orang musyrik (yang artinya), “Dan Kami hadapkan seluruh amal yang dahulu pernah mereka lakukan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Apabila kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim)

Makna Tauhid

Tauhid merupakan salah satu syarat diterimanya ibadah. Apa yang dimaksud dengan tauhid? Para ulama menjelaskan, bahwa tauhid adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah hakikat atau intisari daripada tauhid.

Di dalam al-Qur’an, Allah seringkali mengiringkan perintah beribadah kepada-Nya dengan larangan dari syirik, karena ibadah kepada Allah tidak diterima apabila dibarengi dengan bentuk-bentuk syirik. Misalnya, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An-Nisaa’: 36)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang mengajak-: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36). Thaghut adalah segala bentuk sesembahan selain Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik rahimahullah.

Tauhid inilah yang biasa dikenal dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Sebab, pada dasarnya tauhid terbagi menjadi tiga; yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Tauhid rububiyah adalah mengimani bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemelihara, dan penguasa alam semesta. Tauhid uluhiyah adalah mengimani bahwa Allah semata sesembahan yang benar, adapun sesembahan selain-Nya adalah batil. Adapun tauhid asma’ wa shifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Diantara ketiga macam tauhid ini yang menjadi tujuan pokok dakwah para rasul ‘alaihimush sholatu was salam adalah tauhid uluhiyah.

Rukun Tauhid

Tauhid memiliki dua rukun, sebagaimana terkandung di dalam syahadat laa ilaha illallah. Rukun yang pertama adalah nafi (penolakan), yaitu yang terkandung di dalam laa ilaha. Maknanya adalah kita wajib menolak segala sesembahan yang ada selain Allah, apakah itu malaikat, nabi, wali, matahari, bulan, bintang, pohon, batu, dan lain sebagainya.

Rukun yang kedua adalah itsbat (penetapan), yaitu yang terkandung di dalam illallah. Maknanya adalah kita wajib menetapkan bahwa hanya Allah sesembahan yang benar. Tidak ada sesembahan yang boleh diibadahi kecuali Allah. Oleh sebab itu segala macam bentuk ibadah tidak boleh ditujukan kepada selain-Nya.

Millah Ibrahim adalah Islam

Millah (agama) Ibrahim adalah tauhid (Islam). Ibrahim bukan Yahudi, dan bukan pula Nasrani. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “… Maka ikutilah millah Ibrahim yang lurus, dan tidaklah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 95)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim yang lurus itu, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama/millah Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.’.”(QS. Al-An’am: 161)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), Ibrahim bukanlah Yahudi, bukan pula Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif/bertauhid dan seorang muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.”(QS. Ali Imran: 67)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah, ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya, sesungguhnya aku berlepas diri dari segala yang kalian sembah kecuali Dzat yang menciptakanku…” (QS. Az-Zukhruf: 26)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Dengan demikian batillah anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa Ibrahim ‘alaihis salam adalah bapak tiga agama; Yahudi, Nasrani, dan Islam. Mereka menganggap bahwa ketiga agama ini adalah warisan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yang biasa mereka sebut dengan istilah Abrahamic religion (millah Ibrahim). Sebagian mereka juga pernah menulis buku dengan Judul ‘Tiga Agama Satu Tuhan’. Semua ini adalah kedustaan!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ”Maukah kalian masuk Islam?”. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk. Namun apabila mereka berpaling, sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20).

Kebenaran Islam

Tidak ada agama yang benar di sisi Allah selain Islam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 19)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Ini adalah berita dari Allah ta’ala bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi-Nya dari siapa pun selain agama Islam. Hakikat  Islam adalah mengikuti para rasul dengan menjalankan ajaran yang diturunkan Allah kepada mereka di setiap masa sampai akhirnya mereka -para rasul- ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menutup semua jalan menuju-Nya kecuali jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memeluk agama selain yang disyari’atkan oleh beliau maka tidak diterima…”(lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/19])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya, siapa pun yang beragama kepada Allah dengan selain agama Islam padahal Islam itu jelas-jelas telah diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, maka amalannya tertolak dan tidak akan diterima. Agama Islam itulah ajaran yang mengandung sikap kepasrahan kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, selama seorang hamba tidak memeluk agama ini itu artinya dia belum memiliki sebab keselamatan dari azab Allah dan sebab untuk meraih kesuksesan yaitu berupa limpahan pahala dari-Nya. Adapun semua agama selainnya adalah batil.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 137)

Makna dan Hakikat Islam

Secara bahasa, Islam berarti kepasrahan. Islam -sebagaimana diterangkan oleh para ulama- memiliki beberapa makna. Islam secara kauni adalah sikap tunduk dan pasrah kepada ketentuan Allah dan kekuasaan-Nya. Maka keislaman semacam ini ada pada seluruh makhluk yang di langit maupun di bumi. Keislaman semacam ini belumlah menjadikan seorang hamba termasuk golongan orang yang dicintai-Nya. Karena pada hal itu tidak ada unsur kesengajaan dan pilihan bagi mereka.

Adapun Islam secara syar’i adalah bentuk keislaman yang menjadi sebab hamba dipuji dan dicintai oleh Allah ta’ala. Islam secara syar’i ini terbagi menjadi dua; yaitu Islam dengan makna yang umum dan Islam dengan makna yang khusus. Islam dengan makna umum adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan menjalankan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Inilah Islam yang mencakup seluruh ajaran para nabi dan rasul dengan syari’at mereka yang beraneka ragam.

Adapun Islam dengan makna khusus adalah Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah agama umat akhir zaman, yang tidak akan diterima di sisi Allah siapapun yang berjumpa dengan-Nya sesudah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan membawa agama ini, aqidah maupun syari’atnya. Apabila para nabi terdahulu diutus hanya kepada kaumnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh manusia.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. al-Ma’idah: 3).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah ta’ala untuk umat ini. Dimana Allah ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan lagi agama selainnya, dan juga tidak butuh nabi selain nabi mereka -semoga salawat dan keselamatan terus terlimpah kepada beliau-. Oleh sebab itulah Allah ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup nabi-nabi dan diutus kepada segenap jin dan manusia…”(lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [3/20])

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Muhammad itu adalah bapak dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab: 40).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku dari kalangan umat ini, entah dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia tidak mau beriman terhadap ajaran yang aku bawa melainkan kelak dia pasti termasuk penduduk neraka.” (HR. Muslim).

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat kandungan hukum bahwasanya semua agama telah dihapuskan pemberlakuannya dengan adanya risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/245])

Tauhid Landasan Pokok Agama Islam

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah –dalam riwayat lain syahadat diungkapkan dengan kata-kata: mentauhidkan Allah, dalam riwayat lain lagi disebutkan: beribadah kepada Allah dan mengingkari sesembahan selain-Nya–, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini (tauhid).” (lihat Syarh Muslim [2/88])


Artikel asli: http://abumushlih.com/empat-kaidah-dasar-bagian-2.html/